Organisasi konservasi Fauna dan Flora Internasional

Organisasi konservasi Fauna dan Flora Internasional (FFI) menyatakan populasi kera asal Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat yang disebut bilou (Hylobates klossii) hanya tersisa seribu ekor.

"Pada 2005, populasi bilou mencapai 25.000 ribu ekor. Namun berdasarkan penelitian FFI, populasinya hanya tinggal sekitar seribu ekor untuk seluruh hutan di Mentawai di luar TNS (Taman Nasional Siberut)," kata peneliti dari FFI, Charles Nahot Simanjuntak, di Padang, Selasa.

Berkurangnya populasi primata dilindungi tersebut, Menurut Nahot disebabkan adanya eksploitasi hutan baik secara legal maupun ilegal, pembukaan lahan baru, serta perilaku budaya masyarakat Mentawai untuk berburu. Sementara, tingkat produktivitas kera hitam itu tergolong cukup rendah, karena hanya dapat beranak 3 - 4 ekor selama 25 tahun.

Ia menjelaskan bilou baru memasuki tahap produktif saat usia 7 tahun. Sekali beranak, bilou hanya menghasilkan satu ekor spesies baru. Hewan tersebut baru akan kembali kawin setelah dua tahun merawat anaknya selama pasangannya tidak mati.

"Bilou termasuk hewan yang setia kepada pasangannya. Jika betinanya mati, akan sangat jarang bilou mencari pasangan baru. Kalaupun ada yang mencari pasangan baru, harus melalui pertengkaran dengan pasangan yang lain," jelasnya.

Menurut Nahot, penelitian terhadap bilou di Mentawai sudah dilakukan sejak 2010. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan sistem metode jalur dan "Fix Point Count".

Metode jalur dilakukan dengan cara menyusuri jalur-jalur habitat bilou di Siberut, Pagai Utara, Pagai Selatan, dan Sipora. Sementara, "Fix Point Count" dilakukan dengan pembukaan pos pendengaran terhadap suara hewan itu dengan jarak masing-masing 600 meter.

"Pendengaran hanya dilakukan dengan telinga, dan dicatat menggunakan kompas dan GPS," katanya.

Selain Bilou, penelitian FFI juga dilakukan terhadap empat primata lain asal Mentawai yakni simakobu (Simias concolor), joja (Presbytis potenziani), serata dua jenis bokkoi Macaca pagensis dan Macaca siberu.

Dalam penelitian, mereka juga melibatkan masyarakat agar dapat ikut melestarikan bilou serta mengajak warga tidak melakukan perusakan terhadap hutan.

"Ada aturan yang menyabutkan adanya pemanfaatan hutan berbasis masyrakat dan Saya pribadi berharap hutan ini dapat dikelola tanpa merusak lingkungan sehingga habitat bilou tidak terganggu. Di samping itu, hutan juga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi," kata Nahot.

0 Response to "Organisasi konservasi Fauna dan Flora Internasional"

Posting Komentar